Perkembangan Islam di Indonesia tak
bisa dilepaskan dari dakwah yang dilakukan oleh wali songo yang sukses
mengislamkan nusantara dengan cara-cara damai melalui akulturasi kebudayaan.
Sampai sekarang, strategi dakwah ini digunakan oleh Nahdlatul Ulama dengan
penghargaan terhadap tradisi lokal. Sebenarnya, bagaimana dakwah yang dilakukan
oleh walisongo dan bagaimana dinamika yang mereka alami, berikut ini wawancara
NU Online dengan Agus Sunyoto, pengarang buku 'Atlas Walisongo' dan 'Suluk
Malang Sungsang Syeikh Siti Jenar' seusai diskusi kebudayaan di NU Online
pertengahan Mei 2007 lalu.
Sejauh ini,
kalangan nahdliyyin selalu menyebut wali songo telah sukses dalam upaya
penyebaran Islam di Indonesia, bagaimana sih trategi dakwah yang dijalankan
oleh wali songo?
Strategi
dakwah dan Islamisasi memang paling berhasil pada era itu, yaitu terjadi
imigrasi besar-besaran terjadi dari negeri Campa. Kita tahu beberapa tokoh dari
sana diantaranya adalah Sunan Ampel dan Sunan Bonang, Sunan Drajat dan
seterusnya, dan pengaruhnya sangat besar dalam kultur keislaman di Indonesia.
Saya lihat keberhasilan itu karena salah satunya merebut pesantren-pesantren
Syiwa Budha yang dinamakan Dukuh. Di dalam pedukuhan itu sudah ada ajaran syiwa
budha yang sebetulnya mirip dengan Islam misalnya orang siswa di pedukuhan yang
dinamakan wiku atau calon wiku itu dilarang makan babi, dilarang minum minuman
keras, dilarang makan barang subhat hasil dari membungakan uang riba dan
seterusnya, dilarang judi, mencuri, persis syariat Islam. Kemudian ini diambil
alih, dijadikan lembaga pendidikan yang dinamakan pesantren.
Karena
itu, santri kan berasal dari bahasa Sansekerta dari kata-kata sastri, yaitu
orang yang mempelajari sastra, sastra ini kitab suci, jadi santri adalah orang
yang mempelajari kitab suci. Untuk membedakan dengan Hindu, dibuat nama lain
yang bukan sastri tapi santri. Mereka juga mempelajari kitab suci. Ini yang
membedakan dengan padepokan Hindu atau asrama-asrama.
Selain
itu, secara mayoritas di Jawa waktu itu, karena walisongo di Jawa, mainstream
agama yang dianut oleh masyarakat adalah kepercayaan Kapitayan, ini pra Hindu
sebenarnya, kalau Hindu kan diikuti oleh kalangan elit istana saja. Kebanyakan
masyarakat masih model kapitayan. Dari situlah Islam masuk melalui Kapitayan,
masyarakat bawah. Jadi Misalnya, untuk mengambil tempat ibadahnya orang
kapitayan, Islam membangun tempat ibadah yang sama dengan orang kapitayan.
Kalau
orang kapitayan membangun tempat ibadah yang namanya sanggar, orang Islam
membangun tempat yang namanya langgar. Kemudian, ibadah menyembah tuhan tidak
digunakan dengan istilah sholat, tetapi orang-orang kapitayan diambil
sembahyang, menyembah Sang Yang. Kemudian untuk ibadah tidak makan-makan atau
tidak minum dalam sehari, tidak disebut shoum, ini kan bahasa Arab, yang
digunakan orang-orang kapitayan yang sudah umum saja, yaitu upawasa jadi puasa.
Semua
mengambil alih itu. Terus cerita-cerita tentang kehidupan di akhirat yang baik,
tidak usaha ngomong tentang jannatul firdaus, yang sudah digunakan orang saja,
surga, surgaloka, kalau kita bicara penderitaan di akhirat, kita bicara local
saja, narul jahannam, tidak ngerti orang, pakai saja yang sudah dikenal
orang-orang nerakaloka. Disitu mulai terjadi proses pengambilalihan. Semua
institusi-institusi diambil.
Ini termasuk
tahlil yang merupakan bagian dari lokalisasi ajaran Islam?
Sebetulnya
kalau tahlil bukan. Ini kan usaha dari ulama-ulama, dari Syeikh Siti Jenar yang
menemukan satu hadist ketika Nabi Adam akan dicipta, dunia ini dihuni bangsa
jin. Ketika Nabi Adam akan diturunkan ke dunia, semua bangsa jin diusir dari
dunia mereka menuju laut dan pulau-pulau, itu ada hadistnya. Nah karena itu,
ulama-ulama masa itu, termasuk yang mempelopori Syeikh Siti Jenar, memberikan
amaliah-amaliah kepada para pengikutnya untuk membaca amalan-amalan yang
menolak pengaruh jahat. Ini kan ada dasarnya di hadist-hadist. Inilah yang
akhirnya menjadi tahlil itu. Sebetulnya dari itu, awalnya menolak pengaruh
jahat jin. Tetapi kita tidak tahu kapan proses itu terjadi, tahu-tahu ini jadi
kirim doa untuk orang mati. Ada proses yang terjadi di situ.
Kalau
kenduri, ini kan tradisinya orang Syiah untuk mengirim doa kepada leluhur, ini
kan dari bahasa Persia. Nah memang orang-orang dari Campa yang datang ke
Indonesia itu mazhabnya Syiah. Karena itu sama antara orang Campa dengan
Indonesia, kalau mati diperingati 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari. Islam
Campa yang terpengaruh Syiah, kalau mati orang ditalkin, itu syiah, orang Sunni
tidak ada. Kalau sholat taraweh 23 rakaat, ini sama, Syiah juga.
Wali sendiri ada
sembilan, termasuk yang dianggap sangat lokal kan Sunan Kalijogo dan Syeikh
Siti Jenar, apa yang membedakan dengan wali yang lain?
Sebetulnya
sama, hanya cuma pendekatan yang dilakukan oleh Syeikh Siti Jenar dan Sunan
Kalijogo adalah pendekatan sufi atau tasawwuf. Mereka lebih fleksibel dalam
menghadapi kondisi kultural masyarakat. Masyarakat di pedalaman dan pesisir kan
ada perbedaan, disitu. Dan ternyata Syeikh Siti Jenar dan Sunan Kalijogo masih
menyisakan tarekat sementara wali yang lain tidak meninggalkan itu, tidak ada
bekas jejaknya kecuali makam-makan. Ada tarekat Akmaliyah, Syatariyah, itu
salah satu bekas jejaknya Syeikh Siti Jenar dan Sunan Kalijogo, termasuk Sunan
Gunung Jati.
Kontraversi
tentang Syeikh Siti Jenar sendiri bagaimana?
Ini
masalah politis sebetulnya. Jadi ada perbedaan pendapat tentang Syeikh Siti
Jenar antara di Jawa dan Cirebon. Di Cirebon, orang memandang Syeikh Siti Jenar
lebih obyektif karena ia berasal dari sana, sementara di Jawa tidak. Itulah
fenomena antara Islam pedalaman dan Islam pesisir, itu saja.
Faktor politik
apa yang membuat Syeikh Siti Jenar dianggap melenceng dari Islam?
Dia
kan merombak sistem sosial yang ada waktu itu, dia memperkenalkan namanya
masyarakat yang berasal dari kata musyarokah, padahal sebelumnya strukturnya
kawulo atau budak, dia menyuruh pengikutnya untuk menyebut masyarakat, yang
sederajat, punya hak untuk kerjasama, menyebut diri dengan kata-kata ingsun
atau aku bukan kulo atau kawulo. Kalau orang Sunda jangan menyebut diri dengan
kata-kata abdi,, kalau di Sumatra jangan menyebut diri dengan kata-kata saya
atau sahaya, ini artinya juga budak.
Kamu
orang yang sederajat. Ini yang membuat marah kalangan elit politik di keraton
karena yang boleh mengucapkan kata-kata ingsun itu hanya raja. Orang lain tidak
boleh, yang disebut panjenengan insung, panjenengan berasal dari kata-kata
jumeneng artinya engkau yang punya hak berdiri. Masyarakat tidak punya hak
untuk berdiri, menekuk kaki kalau kawulo itu. Nah Syeikh Siti Jenar melawan
sistem itu.
Pada waktu itu
penguasa di keraton seperti Demak kan para wali, apa ini tidak berarti ingin
mengokohkan sistem yang ada sebelumnya dengan sistem kawulo gusti.?
Sebetulnya
begini, yang berkuasa waktu itu adalah Sultan Trenggono, ia dari segi ibu
cucunya Sunan Ampel, berarti Sunan Bonang itu pakdenya, Sunan Drajat yang
pakdenya, Sunan Giri itu juga masih saudara, jadi wali songo itu satu keluarga.
Jaman Sunan Trenggono, sudut pandangnya sudah lain karena walinya sudah
berubah, Sunan Ampel sudah meninggal, Sunan Giri sudah meninggal, Sunan Bonang
juga sudah. Ini generasi berikutnya, dari situlah Sunan Trenggono ingin
mengokohkan kekuasaannya dan ia merasa terganggu dengan ajaran Syeikh Siti
Jenar yang sangat egaliter itu.
Dan
Syeikh Siti Jenar melihat ajaran nabi itu kan sangat egaliter. Itulah, ia tetap
bersikukuh dengan itu. Kerena itu, kadang-kadang aneh juga, Syeikh Siti Jenar
sangat mengakomodasi kebudayaan kultural, tetapi disatu sisi tidak juga
seluruhnya bener, karena ketika para wali menyebut dirinya sunan, sebuah bahasa
lokal yang artinya raja atau guru spiritual, Syeikh Siti Jenar tetap pakai
gelar syeikh tidak Sunan Siti Jenar, tetap syeikh.
Gelar syeikh ini
berarti aspek keagamaan?
Ya
keagamaan, guru agama dan syeikh itu kan guru spiritual, disitu. Jadi memang
punya otoritas keagamaan? Kalau melihat perkembangan Islam sekarang bagaimana
dikaitkan dengan penghargaan terhadap budaya lokal. Sekarang kan banyak
ajaran-ajaran baru?
Sebetulnya gini, ada proses perubahan sosial yang tidak terakomodasi oleh mainstream besar tradisional, karena kalau kita lihat munculnya kelompok sempalan baru ini dari mana asalnya? Ya dari mainstream besar ini.
Sebetulnya gini, ada proses perubahan sosial yang tidak terakomodasi oleh mainstream besar tradisional, karena kalau kita lihat munculnya kelompok sempalan baru ini dari mana asalnya? Ya dari mainstream besar ini.
Mereka
tidak terakomodasi sehingga lari, bukan karena mereka tiba-tiba muncul, ini
karena tidak terakomodasi. Satu contoh, dia putranya syuriah NU, tetapi ia
aktif di organisasi lain karena merasa "aku ini mahasiswa, sekolah di
Amerika, ngaji yo ora iso koyok itu" Lha gimana, ini kan tidak terwadahi
di NU. Di NU kan ada tradisi, kalau ada orang pinter yang bisa menjadi ancaman,
disingkirkan, he he he… akhirnya muncul kelompok sempalan yang tidak
terakomodasi, saya kira itu saja, tetapi kalau bisa mengakomodasi, saya kira orang-orang
itu balik lagi.
Kalau
berkaitan dengan kelompok Islam dari Timur Tengah itu bagaimana dan mereka
tampaknya ingin menerapkan seperti yang di Arab? Biar saja, yang jelas mereka
yang mayoritas disini tetap akulturasi budaya. Kita lihat malah sekarang sudah
banyak yang melenceng. Agak irasional, ada yang kelompok modern, fundamentalis,
ngajarkan yang namanya ru'yah, ini apa, ini kan permainan orang-orang
tradisional dulu. Nanti ada jinnya gini-gini, balik lagi akhirnya. Saya pernah
mengantarakan mereka ziarah kubur, ya nalurinya balik lagi.
Artinya Islam Indonesia tak akan bisa seperti di Arab? Dha bisa, saya itu pernah bertemu dengan salah seorang TKI dari Jember waktu haji. Ia mengatakan sudah bekerja di Saudi sejak tahun 1973, saya tanya, "Sampean kan berarti sudah punya hak untuk jadi warga negara sini?' dijawabnya "O, dhak pak, saya setiap tahun mesti pulang, saya tidak mau jadi warga negara sini. Orang sini kalau mati kayak binatang, dimasukkan liang kemudian dibuldoser, gak ada itu ditahlili, saya gak mau seperti itu". Nah ini ka nada faktor kultural yang memberati dia. Kenikmatan duniawi yang ia peroleh di sana tidak bisa merubah mainstream dia, ya sudah itu, mau apa lagi!.
Artinya Islam Indonesia tak akan bisa seperti di Arab? Dha bisa, saya itu pernah bertemu dengan salah seorang TKI dari Jember waktu haji. Ia mengatakan sudah bekerja di Saudi sejak tahun 1973, saya tanya, "Sampean kan berarti sudah punya hak untuk jadi warga negara sini?' dijawabnya "O, dhak pak, saya setiap tahun mesti pulang, saya tidak mau jadi warga negara sini. Orang sini kalau mati kayak binatang, dimasukkan liang kemudian dibuldoser, gak ada itu ditahlili, saya gak mau seperti itu". Nah ini ka nada faktor kultural yang memberati dia. Kenikmatan duniawi yang ia peroleh di sana tidak bisa merubah mainstream dia, ya sudah itu, mau apa lagi!.
Sumber:
http://harapandansemangat.blogspot.com/2013/03/dakwah-paling-sukses-pada-era-wali-songo.html?showComment=1408163168794#c554231800872674293